Saat Teduh Kristen hari ini: Juli 2020
Renungan
Kita mengenal atau pernah berjumpa dengan seorang pemarah, bukan? Kemarahannya mudah meledak seperti bahan peledak dengan sumbu yang sangat pendek. Sedikit kena percikan api, langsung meledak. Sungguh tidak enak dan canggung, berada bersama seorang pemarah karena kita tidak ingin merasakan atau melihat ledakan kemarahannya.
Namun, anehnya seorang pemarah memiliki beberapa keuntungan. Dia bisa menikmati rasa gentar orang lain, terlebih daripada kekasihnya. Dia diperhitungkan, seakan-akan ia seorang yang penting saja. Tetapi, keuntungan ini “akan kena denda”, merugikan hidupnya seperti merusak hubungannya dengan orang lain. Anak-anaknya bahkan isterinya, merasa takut bila ayah atau suami berada di rumah. Bayangkan saja, kalau si pemarah mengumbar kemarahannya pada saat ia ditangkap polisi karena melanggar lalu lintas? Atau kemarahannya meledak kepada atasannya, apakah dia tidak akan dipecat?
Amsal 19:19 mengajak kita untuk membiarkan si pemarah kena resikonya. Jangan kita lalu coba menutup-nutupi kelemahannya ini atau coba menyelesaikan permasalahan yang diakibatkannya. Dengan menanggung resikonya, dendanya, diharapkan seorang anak akan memperoleh pelajaran. Dari kecil dia harus belajar mengendalikan kemarahannya. Siapapun dia, tidak seharusnya ia mengumbar amarahnya. Dengan tidak menolongnya, kita justru tidak mendidik, kita “hanya menambah marahnya”. Kita tidak merestui seorang pemarah. Hikmat menuntut kita berlaku tegas, tapi penuh kasih.
Kedewasaan emosional bercirikan kemampuan mengendalikan amarah menjadi tindakan yang positif.
Bacaan Alkitab
Orang yang sangat cepat marah akan kena dendam, karena jika engkau hendak menolongnya, engkau hanya menambah marahnya.
Amsal 19:19
ANAK IBU
Kemarin kita mendengar ceritera tentang bagaimana seorang ayah mempertaruhkan jabatan dan pekerjaannya untuk menyelamatkan puteri kesayangannya. Ia bahkan tidak segan-segan untuk “tersungkur di hadapan Yesus“. Hari ini kita mendengar betapa kasih seorang ibu diuji. Apakah dia akan berbuat apapun untuk menyelamatkan puteri kesayangannya?
Siapa wanita ini? Dia bangsa Kanaan yang bukan umat pilihan Allah oleh karena itu tidak diperkenan bergaul dengan bangsa Israel. Dia juga tidak memiliki hak apapun dari berkat bangsa Israel. Wanita Kanaan ini menyadari segala larangan sosial itu. Namun, dorongan kasih terhadap puteri kesayangannya membuatnya berani mengambil resiko diusir dan bahkan dihina. Dia tidak berani mendekat tapi dia berteriak: “Kasihanilah aku, ya Tuhan … karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita”. Tuhan tidak menjawab, dan dia berteriak makin keras.
Para murid Yesus merasa terganggu, namun mereka juga sadar bahwa kasih Yesus tidak terbatas dan bahwa Dia juga tidak mau dibelenggu oleh larangan-larangan sosiall budaya. Namun Tuhan Yesus ingin menegaskan tujuan kedatanganNya adalah khusus untuk “domba-domba yang hilang demi umat Israel”. Tetapi wanita itu tidak putus asa. Mungkin pikirnya: “Kalau Tuhan mau menjawab dan tidak mendiamkannya, itu berarti ada harapan”. Maka iapun berani mendekat dan menyembah Tuhan: “Tuhan, tolonglah aku”.
Jawab Tuhan sungguh mengejutkan: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. Jawaban Tuhan yang bagi kita terasa sebagai suatu penghinaan itu, ternyata memberi wanita Kanaan itu secercah harapan. Mungkin kasihnya terhadap puterinya begitu besar sehingga memberinya hikmat yang luar biasa. Tuhan merasa kagum: “Hai ibu, besar imanmu …”. Dia seketika menyembuhkan gadisnya.
Tuhan, ampunilah kami yang mudah terpengaruh oleh harga diri kami sehingga sering kami luput menyatakan perhatian dan kepedulian kami. Berilah kami kasih yang mau merendahkand iri. Amin
Bacaan Alkitab
Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.
Matius 15:22
Tambahkan komentar