Pengampunan : Mengapa Begitu Sulit?

Pengampunan - Mengapa Begitu Sulit
Pengampunan - Mengapa Begitu Sulit

Pengampunan adalah suatu gagasan yang indah dan menarik, sampai pengampunan itu menjadi sesuatu yang harus dinyatakan. Banyak orang di dalam kehidupannya telah merasakan begitu sulitnya sikap mengampuni itu. Sedangkan di sisi lain, begitu banyak orang menderita sekian lama, karena mengharapkan dan menantikan pengampunan dari seseorang.

Tulisan ini akan membahas pengampunan dari perspektif Tuhan Yesus. Pembahasan meliputi: apa sebenarnya pengampunan itu?, mengapa orang sulit untuk mengampuni orang lain?, dan bagaimana sikap yang dikehendaki oleh Allah dari umat-Nya berkenaan dengan pengampunan.

A adalah seorang pengusaha yang tengah mengalami kemajuan pesat dalam usahanya di bidang properti. Setelah menghitung-hitung dengan seksama, A memutuskan untuk meminjam uang dari Bank X sebesar Rp. 300.000.000.000,00 untuk perkembangan usahanya. A berjanji untuk mengembalikan seluruh pinjaman itu dua tahun sesudahnya, dengan bunga sebesar 25%/tahun. Dengan demikian, di akhir tahun kedua, A harus membayar sebesar Rp. 478.000.000.000,00.

Malang tak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Terjadi krisis moneter yang berkepanjangan. Sehingga akibatnya, bisnis properti A menjadi mandeg dan mengalami kerugian besar. Di akhir tahun kedua, Bank X melayangkan surat tagihan. A sama sekali tidak bisa membayar. Bank X akhirnya memanfaatkan jasa debt collector dan menyita seluruh aset A, baik aset pribadi maupun aset perusahaannya. A dengan memohon-mohon meminta agar diberi waktu untuk melunasi semua hutangnya. Dengan berlutut dan menangis ia memohon kebaikan hati pemilik Bank X. Sesuatu yang luar biasa terjadi. Pemilik bank X melepaskan A dari semua hutangnya. Mengherankan, tetapi itulah yang terjadi. Hutang A sebesar Rp. 478. 000.000.000,00 telah dianggap lunas. A merasa lega dan bahagia sekali.

Dalam perjalanannya pulang ke rumah, A bertemu dengan C, seorang kawan lamanya, yang bekerja sebagai tukang becak. Segera saja A mengingat bahwa C masih berhutang kepadanya sebesar Rp 500.000,00. A segera menagih utangnya tersebut. C tidak bisa membayarnya saat itu, dan A mengancamnya untuk melaporkan kasus tersebut ke Polisi. Dan akhhirnya, C ditahan polisi karena tuduhan penipuan dan ingkar janji.

Peristiwa di pengadilan itu, terdengar oleh rekan-rekan A yang lain. Rekan-rekan A melaporkan apa yang terjadi kepada pemilik bank X. Mendengar hal itu, pemilik bank X menjadi sangat marah dan memanggil A. Pemilik bank X berkata, “A, engkau adalah orang yang paling jahat yang pernah aku kenal. Hutangmu kepadaku sebesar Rp 478 M telah kuhapuskan, karena engkau memintanya kepadaku. Tetapi mengapa engkau tidak menghapuskan hutang rekanmu yang hanya Rp 500 ribu itu?” Maka pemilik bank X menjadi sangat marah dan kembali menyerahkan A ke tangan para debt collector agar A segera membayar hutangnya.

A telah menerima pengampunan dari pemilik Bank X, tetapi A tidak bisa memberikaannya kepada rekannya yang berhutang jauh lebih kecil dibandingkan dengannya.

Saya rasa kisah semacam inilah yang akan diceritakan oleh Yesus, apabila di masa kini, orang bertanya kepada-Nya tentang pengampunan (bdk. Mat 18:21-35). Nilai uang pada kisah di atas adalah setara dengan nilai uang dalam perumpamaan Yesus tentang pengampunan.

Mengapa Mengampuni?

Ketika Petrus bertanya kepada Yesus, “Tuhan sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku, jika ia berbuat dosa terhadap aku?” Petrus sudah merasa sangat rohani dan hebat, ketika secara retorik ia menjawab pertanyaannya sendiri,” Tujuh kali?”. Yesus menjawab, “Tujuh puluh kali tujuh kali.” Dan kemudian Yesus menceritakan semacam cerita di atas.

Melalui sebuah penggambaran jelas dalam Mat 18:21-35, Yesus memberikan suatu alasan yang kuat tentang pengampunan. Mengapa mereka yang mengaku sebagai muridnya (saya) harus mengampuni orang lain?

Mengapa mengampuni? Setiap orang Kristen harus mengampuni orang lain, karena ia sendiri adalah orang yang telah diampuni oleh Allah. 

Pengampunan Allah terhadap dosa kita adalah dasar/fondasi dari pengampunan kita terhadap sesama kita. Kesalahan kita yang begitu besar diampuni oleh Allah, oleh karena itu kita harus mengampuni kesalahan yang dilakukan sesama kita, yang tentunya tidak sebesar kesalahan kita di depan Allah.

Ketika Yesus berkata, “Kasihilah msusuhmu,” Ia menambahkan suatu penjelasan: “… Agar engkau menjadi anak-anak Bapamu yang di surga. Bapa yang di surga, yang telah menyebabkan matahari bersinar untuk orang yang jahat dan yang baik, dan mengirim hujan untuk orang yang benar dan orang yang bersalah.”

Dalam perspektif Yesus, apabila murid-Nya hanya bisa mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka, murid-Nya itu tidak lebih dari orang-orang penyembah berhala. Pengampunan kepada mereka yang tidak berhak adalah salah satu karakter Bapa di surga. Dan Ia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan-Nya.

Mengapa mengampuni? Sebab hanya pengampunanlah yang dapat memutuskan siklus rasa bersalah dan sakit hati. 

Di antara orang yang perlu pengampunan dan yang seharusnya memberikan pengampunan terdapat suatu hubungan yang sangat erat, tetapi kaku. Orang yang membutuhkan pengampunan, dibelenggu oleh rasa bersalahnya. Sementara orang yang seharusnya memberikan pengampunan dibelenggu oleh rasa sakit hatinya. Keduanya adalah orang yang sedang terbelenggu, terbelenggu masuk dalam suatu siklus (“lingkaran setan”) yang tidak dapat terputuskan oleh apapun juga, kecuali oleh pengampunan.

Memang, sepertinya tidaklah fair (adil) apabila orang yang disakitilah yang harus mengambil langkah pertama untuk memutuskan siklus ini. Tetapi inilah pengampunan. Apabila kita berbicara tentang keadilan, mungkin konsep karma dari agama Hindhu jauh lebih masuk akal. Berdasarkan hitungan dari para sarjana mereka, dibutuhkan sekitar 6.800.000 kali reinkarnasi agar mereka mendapatkan pengampunan. Tetapi sesungguhnya yang seperti ini bukanlah pengampunan, ini adalah jual-beli. Mengampuni sesama yang telah berlaku salah memang mungkin bukan suatu tindakan yang bisa disebut sebagai adil. Tetapi, ini yang telah dilakukan oleh Allah bukan? Allah yang sudah mengampuni adalah Allah yang memanggil umat-Nya juga untuk mengambil langkah pertama (memberikan pengampunan) kepada mereka yang bersalah.

Belajar untuk Mengampuni
Belajar untuk Mengampuni

Mengapa mengampuni? Sebab hanya pengampunan yang sanggup melepaskan mereka yang bersalah dari belenggu rasa bersalah. 

Pengampunan tidak saja melepaskan mereka yang terluka dari belenggu rasa sakit hati. Tetapi, pengampunan juga melepaskan mereka yang telah bersalah dari belenggu rasa bersalah.

Tidak ada belenggu yang lebih kuat daripada rasa bersalah. Belenggu ini tidak bisa dipatahkan oleh mereka yang terbelengu itu sendiri. Tetapi belenggu itu harus dipatahkan dari pihak luar. Sesungguhnya mereka yang terbelenggu oleh rasa bersalah membutuhkan penerimaan. Sama seperti kisah anak yang hilang (Luk 15:11-32). Dalam Luk 15:20 tertulis, “Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.”

Sesungguhnya, pengampunan memberikan lingkungan yang kondusif untuk mereka yang bersalah. Lingkungan yang aman untuk merefleksikan diri dan menyadari bahwa rasa bersalah itu telah memberikan suatu belenggu. Disadari ataupun tidak, mereka yang telah bersalah adalah orang-orang yang terbelenggu. Kunci belenggu mereka adalah pengampunan dari orang yang telah mereka lukai.

Belajar untuk Mengampuni

Dari pengalaman kehidupan, kita menjumpai bahwa pengampunan adalah suatu hal yang sangat sulit. Pengampunan itu sulit karena dalam setiap tindakan mengampuni terdapat penyangkalan terhadap diri sendiri. Di dalam hati mereka yang mengampuni tersimpa pertanyaan-pertanyaan : Apakah ia benar-benar tahu bahwa yang dilakukannya menyakiti hatiku?, Apakah ia sungguh-sungguh menyesali kesalahannya?, Tidakkah mungkin bahwa hal seperti ini terjadi lagi di masa yang akan datang? Sungguh bukanlah suatu hal yang mudah untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan itu.

Mengampuni menjadi sulit karena mengampuni berarti siap untuk terluka lagi. Satu alasan yang mendasar yang seringkali menghambat seseorang untuk memberikan pengampunan adalah perasaan takut terluka kembali. Karena alasan inilah, orang rela bertahun-tahun terbelenggu oleh rasa sakit hatinya dan kehilangan suatu relasi dengan rekannya.

Sebenarnya, dengan tidak mengambil tindakan untuk mengampuni, kita telah terluka. Tindakan pengampunan menawarkan satu-satunya kesempatan untuk lepas dari luka hati ini. Terbuka kesempatan untuk terluka kembali memang. Tetapi dengan tidak mengampuni, sebenarnya kita sudah terluka.