Di sebuah berita memuat berita tentang tragedi penganiayaan yang dilakukan oleh sang cucu terhadap kakek dan neneknya. “Cucu bacok kakek dan nenek kandung karena merasa tidak diindahkan!” Membaca berita miris tersebut, hati siapa yang tidak menjadi sedih campur geram. Sedih, karena memikirkan betapa teganya sang cucu membacok kakek dan nenek kandungnya yang selama ini mengasuh dan menghidupinya. Geram, karena tingkah laku sang cucu yang tak tahu diuntung dan berterima kasih kepada kedua orang renta yang telah sekian lama menjadi pengganti orang tua kandungnya. Akan tetapi, itulah realitas hidup yang terjadi di tengah masyrakat kita saat ini. Berita mengenai kekerasan bukanlah sesuatu yang aneh dan asing bagi mata dan telinga kita. Kekerasan yang identik dengan kejahatan terjadi di mana saja, kapan saja dan bisa dilakukan serta menimpa siapa saja! Kekerasan seakan telah menjadi menu harian dalam lintasan sejarah perjalanan hidup manusia. Sebut saja tukan ojek yang tewas mengenaskan dibunuh oleh penumpangnya demi memiliki motor korban, hanya untuk membayar hutang! Pembantaian sebuah keluarga oleh sekelompok garong yang masuk ke dalam rumah dan menguras harta benda sang empunya rumah. Pelajar yang terluka parah dan dilarikan ke Rumah Sakit akaibat tawuran antar pelajar. Dan masih banyak lagi cerita dan berita mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Terkadang berita tersebut bisa membuat emosi kita terpancing, namun ada kalanya kita tanggapi dengan biasa-biasa saja karena dianggap sebagai berita basi!
Kekerasan, bisa saja terjadi di tengah keluarga, masyarakat dan sekeliling kita, bahkan juga di tengah persekutuan. Kekerasan mampu mengusik ketenangan bahkan dapat menimbulkan gejolak yang sangat hebat, tatkala kekerasan tak kuasa lagi dibendung. Secara manusiawi, kita bisa menganggap bahwa kekarasan itu memang sudah tradisi dari sononya. Sesuatu yang buruk yang diwariskan oleh Kain kepada anak cucunya, ketika terjadi pembunuhan manusia pertama di muka bumi ini. Darah Habil tertumpah menggenangi bumi dan sejak saat itulah kejahatan manusia semakin bertambah-tambah. Tak dapat kita pungkiri, bukan saja dunia memiliki catatan tentang kekerasan. Sejarah Alkitab pun mencatat ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang setali tiga uang dengan kejahatan, terjadi dari abad ke abad, genarasi ke generasi. Di mana semuanya itu mengakibatkan pertumpahan darah dan penderitaan yang harus ditanggung oleh Bani Adam.
Dalam Perjanjian Lama (PL), ada begitu banyak kisah yang sarat dengan kekerasan, baik yang menyangkut pribadi maupun kelompok. Dilanjutkan dengan Perjanjian Baru (PB) yang tak kalah serunya menceritakan tentang tindak kekerasan. Masih ingat tentang Yohanes Pembaptis yang dipenggal kepalanya? Para rasul yang mati sebagai Martir? Dan puncaknya adalah kekerasan yang dialami sendiri oleh Tuhan Yesus Kristus di atas kayu salib. Dia harus mengalami penderitaan yang luar biasa.
Kekerasan bagaikan putaran jam yang terus berdetak dari waktu ke waktu, bergulir dari zaman ke zaman. Kekerasan semakin hari semakin merajalela dengan modus operandi yang kian canggih dan semakin sadis. Di dunia ini, tak ada sehari pun yang dilewati tanpa terjadi kekerasan. Berbicara mengenai kekerasan, maka boleh dikatakan, hal tersebut bagaikan endemi masyarakat yang sulit dibasmi, meski perangkat hukum dengan segala sanksinya telah tersusun dan tertata rapi. Akan tetapi, kekerasan terus berkembang dan terulang kembali. Manusia seakan tak jera melakukan kekerasan, baik untuk kepentingan sendiri maupun sekedar menyenangkan orang lain. Ironisnya, penyakit tersebut juga menjangkiti kelompok yang menamakan dirinya orang beriman, orang yang percaya kepada Tuhan.
Kasus kekerasannya mungkin tak berwujud baku hantam atau sejenisnya, tetapi efeknya bisa lebih parah, karena kekerasan di lingkungan seperti ini adalah kekerasan hati manusia! Secara jujur, kita perlu mengakui bahwa kekerasan hati sejak zaman dahulu kala telah merasuki hati anak-anak Tuhan. Tengok saja sejarah Adam dan Hawa, manusia pertama cipataan Allah. Karena kekerasan hati mereka yang tak mau mendengar perintah Allah, maka buah yang dilarang Allah untuk di makan, mereka memakannya. Begitu pula dengan Yunus “Merpati yang ingkar Janji!” Yunus mengeraskan hatinya untuk mendengarkan panggilan Allah, bukan ke Niniwe eh….. dia malah pergi ke Tarsis. Kekerasan hati orang-orang Yahudilah yang membuat Yesus, manusia yang tak berdosa harus menderita dan mati di kayu salib. Begitu pula murid Tuhan Yesus, dengan dalih mengatasnamakan golongan Apolos, Kefas, Paulus, dan sebagainya, mereka menjadi terpecah-pecah karena kekerasan hati mereka.
Kekerasan bisa terjadi secara fisik, di mana adu jotos dan otot lebih dominan yang dapat meninggalkan luka yang membekas. Sedangkan dampak dari kekerasan hati tidak tampak terlihat di permukaan. Namun dampaknya begitu luar biasa. Tidak sedikit orang yang menjadi korban kekerasan hati menjadi frustrasi, apatis dan menaruh dendam membara. Ketika rapat digelar dan ususl tidak diterima, tidak jarang membuat jemaat menjadi geram dan kecewa. Lalu ia pun berpindah ke gereja lain. Perbedaan pendapat antar anggota Majelis Jemaat dengan Pendeta, bisa memancing ketegangan yang berbutut terbengkalainya tugas pelayanan. Kekerasan dengan segala bentuknya sangat bersumber pada si “Aku” yang merasa diri paling benar. Paling penting, paling pintar, paling kaya dan paling segalanya dari orang lain.
Hal inilah yang berdampak pada tatanan hidup manusia, baik sebagai individu maupun komunitas tertentu. Tidak ada lagi penghargaan atas sesama. Karena itu penting untuk dimiliki oleh manusia secara hakiki adalah KASIH. Kasih adalah sesuatu yang timbul tanpa alasan apapun juga. Di dalamnya tidak ada logika matematika maupun kalkulasi untung rugi. Kasih juga bukan sekedar filsafat, ia berada di atas segalanya. Sehingga ketika melakukan sesuatu, tak pernah terfikir untung ruginya, kawan atau lawan, kaya atau miskin, cantik atau tidak dan sebagainya. Kasih rela melakukan sesuatu tanpa memandang ras, suku, budaya, golongan maupun status sosial.
Rasa kasih itulah yang kini telah hilang di hati manusia. Paling banter manusia hanya memiliki rasa “kasihan”. Tapi perlu diingat, bahwa dalam rasa kasihan pada diri kita, maka ego kita, keangkuhan kita masih tetap ada. Contoh, ketika kita memberikan sedekah pada fakir miskin, itu bukan karena kasih, tapi kita tergerak oleh hanya karena belas kasihan pada objek. Entah karena dia terlihat tua renta, penampilan lusuh ataupun cacat. Begitu pula ketika kita memberi sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah, membantu panitia dalam penggalangan dana dan sebagainnya, tak jarang kecenderungan kita adalah supaya kita diberi lebih banyak lagi oleh Tuhan, seolah-olah semua itu hanya sebagai “sogokan” kepada Tuhan.
Dalam kesemuanya itu, keakuan dan keangkuhan masih tetap ada. Di mana-mana kita akan selalu menemukan “aku”, selama masih ada aku atau keangkuhan, kasih tidak akan pernah muncul. Namun begitu “aku” terlepaskan, maka kasih pun akan muncul. Dalam rasa kasihan, ego dan keangkuhan kita masih tetap utuh. Walaupun kita merasa kasihan pada seseorang, kita tidak akan pernah lupa akan kepentingan diri sendiri. entah itu sekedar pujian atau sesuatu di dalamnya. Rasa seperti itulah yang lebih banyak dimiliki oleh pasangan suami istri sehingga ketika salah satu pihak ada yang mengecewakan, maka pertengkaran tak bisa dielakkan. Rasa seperti itulah yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat, sehingga dalam suatu kebijakan atas apapun, cenderung dilihat dari golongan atau kelompok mana mereka. Rasa seperti itulah yang juga lebih banyak dimiliki oleh umat Tuhan yang bernaung dalam persekutuan, sehingga saya mendukung usulan si B karena B mempunyai latar belakang yang sama dengan saya.
Inilah realias yang terjadi dewasa ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus, karena gereja adalah alat-Nya untuk menyatakan kepada dunia bahwa DIA ada untuk memberikan keselamatan bagi orang yang percaya kepada-Nya, hingga kini masih terlena dengan adanya penyakit kekerasan hati. Hati yang keras (bukan sirosis dalam istilah kedokteran) boleh dibilang atau pembelaan diri secara manusiawi, sebagai warisan dari dosa nenek moyang kita.
Hanya yang menjadi masalah adalah bila penyakit ini terus menerus dibiarkan dan tumbuh dengan subur diladang Tuhan, akan jadi apakah benih-benih yang sudah ditabur oleh Tuhan di tengah himpitan ilalang dan rerumputan yang bernama kekerasan hati? Kita hanya bisa bertanya, mengapa kekerasan harus terjadi? Apakah manusia sudah tidak lagi memerlukan kebutuhan diri akan kelembutan, ketenangan dan kedamaian? Apakah hati kita telah tumpul dan membatu, ketika Allah melawat kita kasih-Nya!
Ketika gereja telah terkontaminasi oleh kekerasan dengan bentuk dan sifat-sifat tersendiri, bagaimana kita selaku umat percaya yang adalah Tubuh Kristus meghadapinya? Ini memang bukan hal yang mudah! Seperti kita membalikan telapak tangan kita sendiri. Akan tetapi sebagai ciptaan yang mulia yang diciptakan Allah dengan segala akal budi dan hikmat-Nya, kita patut memerangi kekerasan yang terjadi di tengah persekutuan kita.
Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama dalam rangka mengantiasipasi terjadinya kekerasan baik secara fisik maupun non fisik.
Pertama, setiap orang percaya harus memiliki rasa takut akan Tuhan. Takut yang dimaksud bukan suatu ancaman yang membuat kita terpaksa harus menurut, akan tetapi takut yang dimaksud adalah hormat, tunduk dalam ketaatan hanya kepada Tuhan dan hidup di dalam kasih-Nya. Sikap seperti inilah yang dapat membuat hidup kita tentram, hati dan jiwa kita lapang dalam menghadapi berbagai peristiwa di tengah kehidupan yang sedagn dan akan terus kita jalani.
Kedua, sebagai orang percaya kita hidup tidak sedirian, Allah menghadirkan kita dengan orang lain. Karena itu, menghargai keberadaan orang lain mutlak harus menjadi bagian pengenalan kita. Sebab sesungguhnya setiap orang dihadirkan dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan, namun kehadirannya adalah dalam rangka memperlengkapi satu sama lain. Adalah sikap yang bijaksana, jika dengan kesadaran itu kita memahami bahwa dalam segala sesuatu kita tidak memaksakan kehendak kita. Melainkan bagaimana menerima setiap rangkaian perjalanan hidup itu sebagai bagian dari kehendak Tuhan dalam hidup kita. Karena itu, bila usul atau saran tidak dikabulkan bukan lantas lari dan undur dari persekutuan dan renungan harian, tapi bagaimana memaknai semua itu sebagai sebuah proses dalam rangka mencari kehendak Tuhan.
Ketiga, tidak mengandalkan kekekuatan diri sendiri. Artinya setiap orang percaya diajak untuk mengingat akan siapa dirinya di hadapan Sang Pencipta, dengan segala yang kita lakukan tidak lepas dari rencana dan campur tangan-Nya.
Kekerasan di tengah dunia ini memang tak dapat kita hindari apalagi dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Namun paling tidak sebagai orang percaya, kita tidak menjadi pelaku kekerasan tersebut. Seperti dikatakan oleh Rasul Paulus: “Janganlah kamu serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Artinya Paulus hendak menyampaikan bahwa sekalipun dunia tempat kita diam dan berada itu dipenuhi dengan kekerasan dan kejahatan, tetapi kita tidak dipanggil untuk menjadi pelaku di dalamnya, melainkan bagaimana kehadiran kita sebagai orang percaya turut mewarnai semua itu dengan melakukan apa yang menjadi kehendak Allah.
Tambahkan komentar