Bila kita melihat keadaan dunia sekitar kita maka tidak dapat disangkal bahwa kita hidup di masa yang susah. Kesukaran hidup bukan hanya terjadi di Indonesia. Bukan hanya di Aceh, Ambon, Jawa atau Kosovo dan Rwanda serta Somalia tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Kesukaran hidup bukan hanya akibat krisis ekonomi atau kezaliman elit politik maupun diskrimanisasi ras serta penganiayaan yang bernuansa SARA; tetapi dapat pula disebabkan oleh bencana alam dan penyakit. Penyakit dan virus yang mengakibatkan ribuan keluarga mengalami kedukaan karena kehilangan banyak anggota keluarga yang menjadi korban serta harta benda.
Bila kita mempersempit lingkaran kesusahan yang dialami manusia, kita akan menemukan bahwa kesukaran itu bukan saja disebabkan oleh ulah orang luar tetapi bisa juga oleh orang-orang yang dekat dengan kita. bahkan adakalanya dari kalangan keluarga atau teman hidup kita sendiri. Itulah sebabnya statistik peceraian Kristen dan orang-tua tunggal (single parent) di seluruh dunia termasuk Indonesia bahkan juga dikalangan kristiani makin meningkat akhir-akhir ini. Sehingga tidaklah aneh apabila semakin banyak program Magistar Konseling dibuka oleh berbagai Seminari di tanah air, kalau tidak mau dikatakan menjamur. Kesukaran hidup bukan hanya mencakup aspek ekonomi, moneter, politik dan keamanan seperti yang terjadi di negara atau tempat-tempat tersebut di atas, tetapi juga melingkupi hubungan antar-manusia atau inter-personal relationship, yang merupakan pengalaman nyata bagi setiap kita di manapun kita berada.
Apakah kita perlu merasa heran menyaksikan semuanya itu? Saya pikir kita tidak perlu heran atau bertanya-tanya karena Firman Allah sendiri telah menyatakan bahwa menjelang kedatangan Tuhan yang kedua kalinya yang tentunya mencakup juga masa Gereja purba; akan datang masa yang sukar; seperti yang tertulis dalam surat kedua Timotius “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar” (2 Tim.3:1). Sehingga dengan demikian yang perlu kita pertanyakan bukannya “Mengapa” semua itu bisa terjadi tetapi “Apa” atau “Bagaimana” seharusnya sikap kita sebagai orang percaya mengantisipasi masa sukar ini.
Rasul Paulus, seorang rasul yang biasa hidup dalam kesukaran dalam suratnya kepada Jemaat Tesalonika dan tentunya dalam surat-suratnya yang lain juga, memberikan kita beberapa petunjuk untuk melakukan tindakan-tindakan nyata dalam mengantisipasi masa sukar tersebut. Yang menarik dari apa yang dilakukan Paulus bukanlah sesuatu yang ekslusif, yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok tertentu seperti elit politikus atau anggota DPR/MPR; tetapi oleh setiap orang percaya yang bersedia melakukannya, jadi bersifat praktis dan aktual, tanpa perlu dana khusus; apalagi dana yang berasal dari KKN.
Jemaat Tesalonika adalah jemaat yang masih baru dan muda, namun demikian kesukaran bukanlah asing bagi mereka. Dalam Surat 1 dan 2 Tesalonika, paling sedikit ada sebanyak sepuluh kali disebutkan kata-kata “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”. Mengetahui kenyataan tersebut Rasul Paulus yang merintis pembentukan jemaat Tesalonika “kuatir kalau-kalau kamu telah dicobai oleh si penggoda dan kalau-kalau usaha kami menjadi sia-sia.” (1 Tes. 3:5). Kita tahu bahwa “kesusahan”, “derita” dan “aniaya” merupakan dua sisi dari suatu mata uang. Bisa dipakai iblis sebagai cobaan untuk menjatuhkan dan menggoyahkan iman kita atau dipakai Tuhan sebagai ujian untuk membentuk karakter dan menumbuhkan iman kita. Dari pengalaman, semuanya itu pernah dan telah terjadi. Khususnya jika kita memperhatikan orang-orang yang terhanyut oleh cult, umumnya mereka pada mulanya adalah orang percaya juga. Namun karena mengalami “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”, yang tidak terselesaikan atau teratasi, maka mereka mudah terjerat, iman mereka gampang goyah dan jatuh.
Untuk itulah maka Rasul Paulus menghimbau agar kita:
- Saling Menguatkan dan Menghibur.
Rasul Paulus menulis ” Kami tidak dapat tahan lagi, karena itu kami mengambil keputusan untuk tinggal seorang diri di Atena. Lalu kami mengirim Timotius, saudara yang bekerja dengan kami untuk Allah dalam pemberitaan Injil Kristus, untuk menguatkan hatimu dan menasihatkan kamu tentang imanmu, supaya jangan ada orang yang goyang imannya karena kesusahan-kesusahan ini.” (1 Tes. 3:1-3).
Ketika menulis surat tersebut Paulus sedang berada di Atena dan mendapat berita bahwa Jemaat Tesalonika menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”. Sebagai Bapak rohani tentu ia sangat prihatin dengan iman mereka. Namun ia sendiri tidak bisa ke Tesalonika karena ancaman orang-orang Yahudi yang memusuhi dan membencinya.Itulah sebabnya ia mengutus Timotius untuk “menguatkan dan menasihatkan” mereka. Di masa yang sukar ini betapa.pentingnya kita untuk saling menguatkan dan menasihati, yang dalam bahasa Yunani bermakna menghibur. Bila kita melihat sekitar kita, kita akan menemukan tidak sedikit sesama kita baik yang dekat maupun yang jauh sedang menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”. Ada yang bisa kita jangkau dan ada juga yang tidak bisa kita jangkau karena jarak, ada yang dapat kita tolong langsung tetapi ada juga tidak sanggup kita bantu. Dari apa yang dilakukan oleh Paulus dan Timotius, kita melihat betapa efektifnya pelayanan perkunjungan atau visitasi. Kita tidak tahu betul apa yang dikatakan Timotius kepada Jemaat di Tesalonika, namun yang jelas Timotius membawa kembali kabar yang menggembirakan tentang iman dan kasih mereka. (1 Tes. 3:6)
Di masa yang sukar ini adakah kita menguatkan dan menghibur sesama kita dengan menyediakan waktu mengunjungi mereka yang sedang menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya” entah secara fisik, emosi, sosial, finansial dan iman? Kita dapat mengunjungi mereka langsung dan memberikan kata-kata yang dapat menguatkan dan menghibur mereka, namun apabila kita tidak dapat mengunjungi mereka secara langsung kita dapat juga melakukankannya secara tidak langsung misalkan dengan memanfaat fasilitas telekominikasi dan informatika seperti telpon, fax maupun email.
Penulis sendiri sering menerima forwarding-forwarding yang berupa artikel atau kesaksian yang menguatkan iman dan menghibur hati. Kita juga dapat memberikan bacaan atau buku-buku yang dapat menguatkan dan menghibur mereka yang jauh dan sedang menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”. Baru-baru ini penulis dipinjami sebuah buku tentang “Kebangunan Rohan”, inipun merupakan suatu tindakan yang “menguatkan dan menghibur”, yang patut kita ditiru. Di masa sukar ini sangat banyak tindakan praktis dan aktual yang dapat kita lakukan untuk saling menguatkan dan menghibur. Maukah kita melakukannya?
- Saling Mendukung dan Mendoakan
Selain saling menguatkan dan menghibur, rasul Paulus juga menulis:”Siang malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita bertemu muka dengan muka dan menambahkan apa yang masih kurang pada imanmu.” (1 Tes.3:10). Ia benar-benar menyadari bahwa karena ia berada di tempat yang jauh ia tidak dapat berbuat banyak terhadap Jemaat di Tesalonika. Seperti tidak dapatnya kita, yang ada di luar negeri; berbuat banyak untuk saudara/i seiman dan bangsa yang sedang menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya” di Indonesia. Dan jikalau kita di sanapun belum tentu kita dapat berbuat banyak karena berbagai keterbatasan. Namun demikian melalui doa sebenarnya kita dapat berbuat lebih banyak daripada apa yang dapat kita perbuat dengan kemampuan yang terbatas tersebut. Rasul Paulus sunggguh-sungguh mengetahui khasiat doa, sebab ia sendiri sering meminta jemaat-jemaat yang disuratinya untuk mendoakannya; oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila di sini siang-malam bersama rekan-rekannya ia berdoa bukan saja agar Jemaat Tesalonika tabah dan teguh di masa yang sukar tetapi juga supaya Tuhan akan membuka jalan sehingga suatu saat kelak mereka bisa berjumpa. Suatu doa yang penuh iman dan pengharapan. Doa yang demikian pula yang patut kita panjatkan siang dan malam di masa yang sukar ini untuk sesama kita yang sedang menghadaapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya”. Karena “Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yak. 5:16a)
Banyak orang Kristen mengerti bahwa doa adalah bagian penting dalam pertumbuhan hidup rohani, bahkan doa sering disebut sebagai “nafas” hidup rohani kita. Namun, tidak jarang orientasi doa hanya berkisar pada kebutuhan pribadi saja, sehingga kita akhirnya menjadi orang-orang Kristen yang sangat “self-centered” dan mementingkan diri sendiri. Di sinilah sumber masalah yang seringkali menyebabkan matinya kehidupan doa yang penuh vitalitas.
Namun apabila kita mau belajar berdoa bagi sesama kita yang sedang menghadapi “kesusahan”, “derita” dan “aniaya” seperti yang dilakukan Paulus dan rekan-rekannya serta bagi bangsa-bangsa yang masih hidup dalam kegelapan, penindasan dan ketidak-adilan, maka mereka akan menemukan suatu cakrawala iman yang baru dalam berdoa, termasuk bagi kebutuhan pribadinya juga. Dan sebagai hasilnya Allah akan menunjukkan jawaban doa yang luar biasa! Oleh karena itu marilah kita belajar untuk tidak menjadi orang Kristen yang hidup dalam dunianya sendiri; sebaliknya marilah kita belajar melakukan kehendak Allah melalui doa-doa yang kita naikkan, supaya melalui doa kita: nama, kerajaan dan kehendak Tuhan dinyatakan di seluruh bumi!
Kiranya di masa yang sukar ini sebagai orang-orang percaya kita tahu bagaimana mengantisipasi dengan tepat dan benar sehingga tindakan kita bukan saja menjadi berkat bagi sesama namun Nama Tuhan pun makin dimuliakan. Amin!!
Tambahkan komentar