Menyandingkan Simson dan Yesus terasa janggal. Kita terbiasa dengan “Simson dan Delila”, kisah kegagalan moral Simson yang oleh Hollywood diubah menjadi kisah kegagahan Simson. Memang nama Simson selalu membangkitkan kesan tentang kegagahan, keperkasaan, kekuatan, kemenangan, kepahlawanan, dan sejenisnya. Sedangkan Yesus, kesahajaan hamba, kelemahlembutan, salib, sama sekali terbalik dari kesan yang kita peroleh tentang Simson tadi. Bahkan bila Anda iseng mencari “Simson” di internet dengan Yahoo atau Google, misalnya, Anda akan temukan nama-nama yang sama sekali tidak ada hubungan dengan Simson Perjanjian Lama. Contoh: “Samsonite,” “Samson Technological Corporation,” “Samson Industrial Corporation,” “Samson Computer” dlsb.
Semua nama-nama itu adalah nama-nama perusahaan atau produk yang menjanjikan keandalan, kekuatan, keunggulan kualitas. Kesan itu kita dapatkan bukan saja dari film tetapi juga dari cerita Alkitab dan Sekolah Minggu dan dari gambar tentang Simson dan Delila yang ada di dalam buku-buku cerita para tokoh Alkitab. Salah satu gambar itu masih terpampang jelas dalam ingatan saya. Simson dengan rambut yang sudah mulai tumbuh kembali, berdiri di antara dua pilar beton yang menyanggah kuil orang Filistin, dengan badan kekar besar berotot mendorong kedua pilar tersebut. Tiang-tiang beton itu terlihat mulai retak sementara orang-orang Filistin memandang kejadian itu dengan wajah terkejut dan takut. Semua ini menyempurnakan kesan bahwa Simson identik dengan kekuatan.
Betapa bertolak belakangnya gambaran tersebut dengan kenyataan hidup Simson seperti yang Alkitab paparkan. Simson adalah seorang nazir, seorang yang oleh kehendak Allah dikhususkan untuk rencana-rencana Allah bagi umat-Nya. kelahiran Simson adalah campur tangan Allah yang memungkinkan pasangan mandul Manoah dan istrinya beroleh seorang putra. Ketika berita kelahiran itu mereka terima, mereka tahu bahwa putra mereka itu adalah seorang nazir Allah yang harus menjalani hidup serasi dengan panggilan Ilahi tersebut. Memang kekuatan Ilahi dari Roh Allah akan menyertai Simson dan karenanya Simson akan mampu membuat hal-hal mencengangkan melampaui kekuatan natural fisik manusia. Namun kekuatan itu adalah kekuatan dari Allah yang menyertai dan mengkhususkan Simson untuk tujuan-tujuan Ilahi, bukan sekadar kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Ketika Roh Allah datang ke atasnya, baru Simson dapat melakukan hal-hal yang mencengangkan seperti mencabik singa, membunuh tiga puluh orang Askelon sendirian, memutuskan ikatan tali baru di tubuhnya semudah memutuskan tali rami, dan di akhir hidupnya meruntuhkan kuil berhala orang Filistin dengan mematahkan kedua tiang penyangga utama kuil itu.
Sebagai nazir, seharusnya Simson memiliki hidup yang berbeda dari orang biasa. Pantangan mencukur rambut adalah lambang bahwa hidup seorang hamba Tuhan harus dihargai dan dipelihara dengan hormat. Seperti halnya para hamba Tuhan dalam Perjanjian Lama, seorang nazir harus menjauhi diri dari hal0hal yang menajiskan, seperti anggur dan minuman memabukkan lainnya, dari bangkai, dan dari hal-hal immoral yang tidak berkenan pada Tuhan. Seharusnya kekuatan ajaib dari penyertaan Tuhan atas dirinya itu tercermin serasi di dalam kekuatan untuk hidup kudus. Namun Simson tidak menghargai panggilan khusus dari Allah itu. Hati, langkah, tatapan matanya terarah ke tempat, objek, hal yang tidak semestinya dia inginkan. Tidak ada sedikit pun kekuatan moral dan disiplin kudus seorang hamba Tuhan dalam diri Samson. Dengan seenaknya saja dia menginginkan pelacur, makan madu dari bangkai, sampai membiarkan rambutnya dipotong. Dan di akhir hidupnya secara menyedihkan kita menyaksikan Simson tidak saja kehilangan kekuatannya tetapi juga kehilangan kehormatan dirinya.
Dalam keadaan buta tak berdaya, ia dijadikan badut untuk menghibur orang-orang Filistin yang menertawakan kehinaan dirinya itu. Bukan kekuatan, bukan keperkasaan, bukan kegagahan, sebaliknya kelemahan, kegagalan, bahkan kehinaan menandai kehidupan Simson sampai ke akhir hayatnya. Namun demikian, di balik semua kegagalannya untuk memenuhi ukuran Allah bagi seorang abdi Allah, memang kita menyaksikan kekuatan dahsyat, panjang sabar, anugerah Allah, serta kemenangan rencana Allah atas segala kekeliruan manusia.
Yesus adalah Hamba Allah sejati. Meski setara dengan Allah dan memiliki segala kuasa di surga dan di bumi, namun Ia telah merendahkan diri dan belajar taat kepada kehendak Allah bapa-Nya. Akibatnya, sejak kecil Ia bertumbuh dan bertambah dalam kekuatan dan hikmat karena Roh Allah tetap di dalam-Nya dan hidup-Nya serasi dengan pimpinan Roh Allah. Kekuatan-Nya terutama tampak tidak di dalam perbuatan-perbuatan dahsyat yang melampaui kemampuan fisik manusiawi – meski hal tersebut memang dilakukan-Nya juga – namun di dalam sifat-sifat yang oleh kebanyakan orang sering dipandang remeh seperti kesabaran, kerendahan hati, perhatian kepada anak-anak dan kebutuhan orang-orang yang tersingkir, dan kesediaan untuk menolong siapa saja tanpa memandang status sosial atau keadaan moral mereka. Kekuatan dan keperkasaan istimewa ada pada-Nya, bahkan Dia sendiri sepenuhnya dalam kendali penuh atas kekuatan Ilahi diri-Nya. Tidak saja kekuatan Ilahi itu tetap di dalam-Nya karena memang Dia memiliki kuasa itu, dan serasi dengan kehidupan-Nya yang tak bercacat di hadapan Allah dan manusia, lebih dari itu kuasa Ilahi itu bahkan terpancar di dalam kondisi-kondisi yang menurut pertimbangan manusia adalah kelemahan. Kekuatan Allah yang menyelamatkan, mengampuni dan melepaskan kita dari cengkeraman dosa, justru terwujud di dalam penderitaan dan kematian-Nya di salib.
Meski tidak semua kita gagal menjalani kehidupan moral yang sesuai sebagai abdi Allah sebentuk kegagalan Simson, semua kita telah gagal menjadi abdi Allah sejati. Kita gagal memenuhi standar Alkitab, bahkan untuk memancarkan sifat hakiki kita sebagai gambar Allah. Semua kita telah menyalahgunakan kebaikan dan pemberian-pemberian Allah di dalam kita dan karenanya mencemarkan kemuliaan Allah. Kegagalan itu telah membuat kita mengacau kemuliaan dengan kehinaan, kekuatan dengan kelemahan, dan membuat kita menjalani kehidupan yang tak beda dari kisah dan sejarah orang-orang yang tak mengenal Allah. Apabila di saat mengalami kekuatan tak satu kali pun Simson menyeru nama Allah, di akhir hidupnya Simson menyeru nama Allah sekaligus dalam tiga bentuk Nama Allah dalam Perjanjian Lama (Adonai, Yahwe, Ellohim). Kemurahan dan kekuatan Allah sekali lagi dinyatakan di akhir hidupnya dalam cara yang jauh melampaui kemenangan ketika Simson masih dalam puncak kekuatannya. Yesus Kristus, di dalam penderitaan dan kematian-Nya bukan karena kesalahan yang dibuat-Nya melainkan demi menebus kita dari berbagai kelemahan dan kegagalan dosa kita, sekali untuk selamanya telah menghadirkan kebaikan serta kekuatan anugerah Allah Tritunggal untuk kita. Kita, Kristen dan Gereja di Indonesia tidak perlu menjadi Simson entah dalam perspektif moral maupun sosial-politik. Bertumpu dan bercermin pada Yesus, kita dimungkinkan menjadi abdi Allah yang mengalami dan menyaksikan persistensi kuasa kasih dan anugerah di dalam kita kepada sesama kita.
Tambahkan komentar